Apapun program/proyek pembangunan pada dasarnya senantiasa bersentuhan dengan dan untuk masyarakat. Untuk bisa efektif, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, masyarakat harus aktif dilibatkan. Munculnya penentangan atau keapatisan dari masyarakat lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pelibatan mereka—masyarakat sekedar obyek, bukan subyek. Lambat-laun, semakin meluap dan tidak terbendung lagi keinginan dan harapan masyarakat untuk terus menemukan jalannya sendiri—yang seharusnya dilakukan Pemerintah—apalagi teknologi informasi dan komunikasi mutakhir kian canggih.
Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memandang penting isu ini. Dalam pidatonya di Pembukaan ASEAN Supreme Audit Institutions Summit di Bali, 16 November 2011, beliau menyatakan,
“Masyarakat telah berubah. Masyarakat kini lebih tahu, responsif, dan kritis akan haknya, serta lebih berkemauan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, lebih dari sebelumnya.”
Sebagai akibatnya, tambahnya, pemerintahan sekarang berada di bawah pengawasan yang ketat dan terus-menerus, karena saat ini dunia bukan hanya menginginkan hadirnya akuntabilitas dan partisipasi, melainkan juga keterbukaan.
Gerakan perubahan musykil dibendung lagi. Sayangya, masih ada kesenjangan: perubahan paradigma di masyarakat yang sudah sedemikian pesat masih dijawab dengan tata-kepemerintahan yang cenderung diselenggarakan dengan pola dari itu ke itu saja. Tertutup, kurang terbuka. Menunggu, bukan menjemput. Minim terobosan sehingga nyaris selalu “ketinggalan zaman” dan menjadi kurang relevan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Open Government Indonesia.
Terdapat satu alternatif yang diyakini mampu memangkas kesenjangan itu: pemerintah harus membuka kanal-kanal keterbukaan. Ikhtiar ini kini semakin marak didengungkan di seluruh dunia sebagai “Open Government” (OG). Dasar berpikirnya, seperti yang dikemukakan Bapak Presiden dua bulan lalu di pidato Asia-Pacific CEO Summit:
“Kita harus memusatkan diri pada masyarakat, menerima bahwa aliran informasi yang lebih besar dan cepat menjadikan tranparansi tidak lagi menjadi suatu pilihan, tapi keharusan.”
Keterbukaan menjadi katalis bagi terwujudnya reformasi birokrasi menyeluruh dan dukungan masyarakat pada pemerintah. Ikhtiar OG, dengan demikian, dapat disampaikan secara singkat sebagai upaya pemerintah untuk transparan dan akuntabel, untuk mendorong partisipasi masyarakat, agar masyarakat makin percaya, aparat makin amanah-kredibel, dan pengawasan makin mudah.
Secara konsep, sebetulnya OG bukan barang baru bagi Pemerintah Indonesia. Setidaknya, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias serta Pemerintah Kota Solo dan Yogyakarta jauh-jauh hari sudah melakukan itu. Apalagi, payung hukumnya telah lebih dari cukup, taruhlah Undang-Undang (UU) 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik beserta aturan pelaksanaannya, yakni Peraturan
Pemerintah 61/2010. Selain itu juga ada UU 37/2008, UU 25/2009, Peraturan Presiden 26/2010, hingga yang di level kementerian/lembaga (K/L) seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri 35/2010.
Secara resmi, Pemerintahan Indonesia sejak 2011 mulai menjalankan OG sebagai gerakan bersama yang terpadu antara pemerintah dan masyarakat. Entitas pelaksana OG adalah Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta Komite Informasi Pusat. Terdapat tiga trek OG, yakni (1) penguatan dan percepatan program berjalan, (2) pengembangan portal keterbukaan informasi, serta (3) proyek percontohan dan prakarsa baru. Ketiganya diterjemahkan ke dalam 34 rencana aksi yang akan dijalankan oleh berbagai K/L bersama UKP4.
Indonesia menjadi salah satu pelopor OG dengan menjadi co-founder dari Open Government Partnership (OGP), sebuah prakarsa global untuk membuat pemerintah di banyak negara menjadi lebih baik dengan menginternalisasikan prinsip-prinsip OG. Terdapat delapan negara pendiri OGP yang seluruhnya kemudian menjadi Komite Pengarah dari 50 negara anggota OGP. Indonesia, pada September 2012, adalah salah satu dari dua ketua (co-chair) Komite Pengarah OGP.
Pencanangan Program Kunci
Bapak Presiden berkomitmen agar OG diimplementasikan di seluruh jajaran K/L. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Kepolisian Republik Indonesia, merupakan K/L yang terdepan. Sebagai pencanangan dan agar lebih mendiseminasikannya ke seluruh K/L, Bapak Wakil Presiden Boediono berinisiatif mengumpulkan seluruh pejabat eselon-I di jajaran K/L pada 24 Januari 2012 di kantornya.
“Tahun 2012 adalah ‘Tahun Peningkatan Kinerja dan Prestasi’. Peran Sekretaris Jenderal dan Sekretaris Utama sangat strategis dalam mendorong implementasi program K/L, selain juga menguatkan koordinasi, eksekusi, dan efektivitas kinerja pada 2012,” paparnya.Demi memanfaatkan momentum, pada kesempatan serupa Bapak Wakil Presiden juga mencanangkan pengimplementasian upaya pemberantasan korupsi dalam Instruksi Presiden 17/2011 serta percepatan prioritas pembangunan nasional dalam Instruksi Presiden i/2012 (pada tahap finalisasi). Untuk itulah acara tersebut ditajuki
“Peluncuran Program Kunci Pemerintah Tahun 2012”.
Acara dibuka oleh Bapak Wakil Presiden dan diarahkan oleh Kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto. Untuk lebih menyemarakkan, diluncurkan pula
“Kompetisi Layanan Publik Open Government Indonesia”.
UKP4, bersama Bapak Wakil Presiden, jelas Kuntoro, akan memonitor semua progres rencana aksinya. Oleh karena itu, masyarakat sangat diharapkan untuk berpartisipasi memonitor.
“Melaluinya, kami yakin kerja dan kinerja pemerintah pada 2012 pasti semakin baik,” tekadnya.